Setiap datang bulan Rabi’ul Awal, masjid-masjid di Tanah Air ramai dengan peringatan Maulid Nabi SAW. Bahkan, tak hanya di masjid-masjid, tetapi juga di mushala, kediaman pribadi, sekolah, instansi pemerintahan, sampai istana, peringatan ini pun digelar. Alunan shalawat dan syair-syair cinta Rasul, serta lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an lebih sering terdengar dari sudut-sudut kampung dan pemukiman warga Muslim.
Nilai-nilai luhur dan pesan-pesan keagamaan kembali ditandaskan para juru dakwah dan pewaris para nabi. Hal itu kian menegaskan betapa tingginya kecintaan mereka terhadap Rasulullah SAW dan betapa kuatnya keinginan mereka berkumpul bersamanya kelak pada hari Kiamat. Sebab, pada hari itu, setiap hamba akan dikumpulkan bersama orang-orang yang dicintainya, sebagaimana salah satu sabdanya, “Engkau bersama orang-orang yang engkau cintai,” (HR Al-Bukhari, Muslim, dan yang lain). Peringatan tersebut dilakukan kaum Muslimin sebagai wujud kecintaan dan penghormatan mereka terhadap Rasulullah SAW sebagai panutan alam yang sangat berjasa bagi mereka. Sebab, ia adalah sosok pembawa cahaya terang di tengah kegelapan. Ia bak oase di tengah padang pasir yang tandus. Ia pula yang mengantarkan mereka kepada pintu hidayah dan gerbang keimanan.
Namun, muncul sebuah pertanyaan ringan, mengapa kaum Muslimin mengenang Rasulullah SAW pada hari kelahirannya, bukan pada hari wafatnya, sebagaimana tradisi haul atas wafatnya para ulama? Jawabannya sangat sederhana. Pertama, tidaklah mungkin membandingkan Rasulullah SAW dengan para ulama. Kedua, ulama atau pahlawan dikenang pada hari wafatnya setelah terlihat jasa dan perjuangannya. Sementara Rasulullah SAW sebelum kelahirannya pun, sudah membawa banyak keberkahan bagi seluruh alam.
Sejak Nabi Adam diciptakan, nama Nabi Muhammad telah tertulis di pintu surga. Kemunculannya telah dikabarkan Taurat dan Injil. Karenanya, 12 Rabi’ul Awal menjadi titimangsa yang paling dinanti oleh seluruh penduduk langit dan bumi. Sebagai bentuk kegembiraan atas hadirnya sosok panutan alam, tak heran pula jika beberapa kejadian langka dan mengagumkan turut mendahului dan mengiringi kelahirannya. Itulah sebabnya beliau dikenang pada hari kelahirannya. Adapun sejumlah kejadian menakjubkan yang menyertai kelahiran Nabi SAW, antara lain adalah sebagai berikut.
Pertama, hancurnya pasukan Abrahah yang hendak menyerang Ka‘bah oleh kawanan burung Ababil. Peristiwa ini berlangsung pada tahun 571 M, tepat pada tahun kelahiran Nabi SAW. Penyerangan Abrahah sendiri dipicu oleh kecemburuannya melihat bangunan Ka’bah yang selalu ramai dikunjungi masyarakat Arab dari berbagai penjuru. Kendati sudah mendirikan gereja super megah sebagai tandingannya, namun masyarakat Arab tetap memilih berkunjung ke bangunan tua yang didirikan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tersebut. Itulah alasannya Abrahah bertolak dari Yaman bersama pasukan bergajah untuk menghancurkan rumah Allah tersebut.
Namun, Allah berkehendak menyelamatkan rumah-Nya. Gajah-gajah Abrahah berhenti di tempat yang dikehendaki-Nya. Saat itulah Rabbul Ka‘bah menurunkan kawanan burung Ababil dari berbagai penjuru dengan membawa batu-batu dari tanah yang membakar. Batu-batu tersebut kemudian ditimpakan dari atas ke kepala bala tentara Abrahah. Kedahsyatan peristiwa ini pun diabadikan Al-Quran dalam surah al-Fil (5) ayat 1-5. Bahkan, hewan gajah sendiri menjadi nama surat yang mengisahkan peristiwa tersebut. (Lihat Sîrah Ibni Ishaq, Darul Fikr, Beirut, Cetatakan Pertama, halaman 59-62).
Kedua, sebagaimana yang diungkap Makhzum bin Hani Al-Makhzumi, pada malam kelahiran Nabi SAW, istana Kisra berguncang hingga 14 ruangannya runtuh, api di negeri Persia yang selalu disembah kaum Majusi padam seketika. Padahal, sudah seribu tahun lamanya, api tersebut selalu menyala. Seiring dengan kejadian itu, air danau Sawah surut, lembah Samawah kebanjiran, sejumlah mata air mengering, sehingga membuat Kisra dan rakyatnya bingung dan kelimpungan. Dikabarkan pula, seorang kepercayan Kisra bernama al-Mubidzan bermimpi melihat unta-unta bermuatan berat menuntun kuda-kuda bagus. Unta-unta tersebut berjalan mengarungi sungai Tigris dan sungai Eufrat lalu menyebar ke sejumlah negerinya. Menurut penafsiran, sebuah peristiwa besar di penjuru Arab akan terjadi. Peristiwa dimaksud tak lain adalah kelahiran Nabi SAW. (Lihat Abu Zahrah, Khatamun Nabiyyin, [Kairo, Darul Fikr: 1425 H], jilid I, halaman 105).
Ketiga, setelah kelahiran Nabi SAW kaum jin tak lagi bisa mengintip berita langit. Hal itu diakui oleh kaum jin sendiri, sebagaimana dilansir Al-Quran, “Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api, dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang siapa saja yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya),” (Surat Al-Jin ayat 8-9). Padahal sebelumnya, mereka dengan mudahnya mendapatkan kabar dan perintah langit untuk kembali disebarkan kepada juru ramal dan tukang sihir. Namun setelah Nabi SAW lahir, Allah meminta langit dihalangi dari setan dan dipenuhi penjagaan malaikat, panah-panah api sehingga mereka tak lagi bisa mendengarnya. Diriwayatkan, tatkala tak bisa mengakses informasi langit, kaum jin berkumpul dan melaporkan kejadian itu kepada Iblis. Dengan cepat, Iblis mengintruksikan agar kaumnya menyebar ke seluruh bumi, dari barat sampai timur, seraya memastikan apa yang sesungguhnya terjadi. Ternyata, dari hasil pengamatan mereka, ditemukan bahwa di kota Mekah ada seorang bayi yang tengah dikerumini malaikat. Bayi itu mengeluarkan sinar dan memancar ke langit. Para malaikat pun sibuk menyampaikan salam kepada panutan alam yang baru saja dilahirkan. Begitu kejadian tersebut dilaporkan, Iblis sangat menyesalkannya. Sebab, panutan alam telah datang. Artinya, rahmat bagi umat manusia akan terlimpahkan. Sehingga pantas, menurutnya, jin dan setan dihalang-halangi naik ke langit dan mencuri informasinya. (Lihat Samia Menisi, Jin-jin Muslim Sahabat Nabi, [Jakarta, Qalam-Serambi: 2016 M], halaman 31).
Keempat, beberapa keajaiban yang menimpa Halimah As-Sa‘diyah, ibu persusuan Nabi SAW. Kala itu serombongan wanita dari bani Sa‘id datang guna mencari bayi yang akan disusuinya demi mendapatkan upah dan bayarannya. Termasuk Halimah yang diantar oleh suami beserta bayi mungilnya. Namun, dua hari berada di Mekah, Halimah belum juga mendapatkan bayi. Yang tersisa hanyalah bayi bernama Muhammad bin ‘Abdullah. Rupanya bayi yang satu ini tak menjadi pilihan para wanita bani Sa‘id lainnya mengingat kondisinya yang yatim, harapan mereka mendapat upah dari bekerja menyusuinya tak akan terpenuhi. Tetapi, karena tak mau pulang dengan tangan kosong, akhirnya Halimah sepakat dengan sang suami untuk mengambil bayi yatim bernama Muhammad itu. Tak diduga, begitu sang bayi diterima, dan dibuka kain bungkusnya, Halimah melihatnya penuh takjub. Wajah sang bayi yang bercahaya membuat dirinya begitu kagum karena baru itu ia mendapatkan bayi yang luar biasa. Tak sampai di situ, begitu si bayi disusui, air susu dari Halimah mengalir deras. Bahkan, unta yang ditumpangi mereka yang semula kurus seketika menjadi gemuk dan kuat menempuh perjalanan. Sejak itu keberkahan pun berlimpah, tidak hanya kepada keluarga Halimah, tetapi juga kepada kabilahnya. (Lihat Sîrah Ibnu Hisyâm, [Maktabah Syirkah Al-Babi Al-Halabi], cetakan kedua, jilid I, halaman 162).
Itulah beberapa peristiwa menakjubkan yang menyertai kelahiran Nabi SAW. Masih banyak lagi peristiwa lainnya, seperti bersujudnya berhala-berhala, terdengar suara dari dalam Ka‘bah, ramainya burung-burung seakan memberi salam, kejadian Aminah yang sama sekali tak merasa letih setelah melahirkan Nabi SAW, datangnya para wanita mulia mendampingi persalinannya, kondisi bayi seperti yang sudah dikhitan, dan sebagainya. Itulah sekilas tentang kelahiran Nabi, beberapa peristiwa mengagumkan yang menyertainya, dan tradisi memperingatinya. Mudah-mudahan hal ini membuat kita semakin cinta dan kagum kepadanya, serta kelak hari Kiamat kita dikumpulkan bersamanya. Tentu kecintaan kepadanya tak berhenti sampai di situ, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk kecintaan kepada Allah dan ketaatan terhadap agama yang diajarkannya. Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu,” (Surat Ali ‘Imran ayat 31). Wallahu ‘alam. (M Tatam Wijaya)