Pages

Kampus SMP Islam Watulimo

Jl. Raya Pantai Prigi, Gg. Masjid Jami' Slawe - Watulimo -. Trenggalek

Gedung Laboratorium

Laboratorium IPA, Perpustakaan Sekolah dan Ruang Kelas

Dewan Asatidz

Sebagian Dewan Asatidz/Dzah SMP Islam Watulimo

Laboratorium Komputer

Ruang dan Sarana Prasarana LAB KOMPUTER SMP Islam Watulimo

Tim Lomba Jelajah Santri

Lomba Jelajah Situs Sejarah Santri Trenggalek Tahun 2019.

Tim Drum Band

Tim Parade Drum Band "GITA BAHANA SMIWA" SMP Islam Watulimo.

Pengurus OSIS SMP Islam Watulimo

Pelantikan Pengurus OSIS SMP Islam Watulimo Masa Bhakti 2019/2020.

Tim Paduan Suara

Paduan Suara pada Kegiatan APEL AKBAR Ansor-Banser se Kabupaten Trenggalek di Pantai Prigi.

Pramuka Kita

Pelantikan Pramuka Penggalang Rakit dan Terap SMP Islam Watulimo.

LJS3T 2019

Juara Umum 3 Putri LJS3T SAKOMA Kabupaten Trenggalek tahun 2019.

LJS3T 2019

Juara Harapan Putra LJS3T SAKOMA Kabupaten Trenggalek tahun 2019.

Gedung Sekolah

Kampus SMP Islam Watulimo tampak dari arah Timur.

Study Tour

Study Tour Kelas IX ke Candi Borobudur Jawa Tengah.

OSIS dan DEGA

OSIS dan DEGA SMP Islam Watulimo ikut menjadi Panitia PERGAMA SAKOMA Koortan Watulimo.

STOP NARKOBA

SMP Islam Watulimo; Narkoba NO Prestasi YES.

KEMAH BHAKTI

KEMAH BHAKTI dan Perkemahan Pisah Tahun 2019-2020 di Buper Damas Karanggandu.

Masjid di Sekolahku

Masjid Jami' Nurul Iman Slawe yang berada satu lokasi dengan Sekolah.

Rabu, 20 Februari 2019

Cara Kiai Ajarkan Metode Berdakwah lewat Sawah

Menjelang sepertiga malam, kira-kira pukul dua dini hari, setelah menempuh perjalanan dari sore, kami berhenti sejenak sekedar mengisi perut, sebelum pulang ke desa masing-masing.

Sambil menikmati ayam dan lele bakar di sebuah warung Lamongan, di depan kantor kecamatan, kami berbincang dan berbagi cerita pengalaman dengan kiai kami, yang sudah berusia 70-an.

Ada santri paling sepuh di antara kami, yang pengalaman bersama Kiai lebih banyak, apalagi dia ikut rewang (membantu) di tambak dan sawah, sehingga pelajaran yang ia terima lebih kaya. Bukan hanya di surau pesantren, tapi juga di tambak dan sawah.

Ia bercerita, dulu pernah diajari oleh Kiai metode mencangkul. Ada tiga metode yang dicontohkan Kiai: mencangkul dengan cara miring, tegak dan membungkuk.

Santri itu disuruh Kiai mencoba apa yang telah dicontohkan. Namun sampai beberapa kali, menurut penilaian Kiai, santri tersebut belum bisa melakukannya secara tepat.

Kiai menyuruh santrinya berpikir, lalu kira-kira Kiai berkata:

"Metode mencangkul yang bermacam-macam itu sesuaikanlah dengan keadaan tanah. Apakah tanah itu keras atau lunak, itu beda cara mencangkulnya. Tanah itu sama dengan manusia, ada yang keras atau kaku, ada yang lunak, ada yang labil. Cara mengajak atau mengarahkan mereka juga beda, seperti mencangkul tadi."

Santri pun tertegun atas nasihat Kiai. "Sampai sekarang saya belum menangkap jelas nasihat beliau itu," kata santri mengenang.

Aku yang mendengarkan tertegun pula. Tak menyangka sebelumnya, Kiai akan menautkan cara mencangkul dan metode mengajak manusia kepada kebaikan: dakwah.


Sumber : NU Online

Rabu, 13 Februari 2019

Bulu Kemoceng dan Fitnah kepada Sang Kiai

Suatu ketika seorang santri meminta maaf kepada Kiainya yang telah difitnahnya. Sang Kiai hanya tersenyum.

“Apa kau serius?” tanya Sang Kiai

“Saya serius, Kiai. Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya,” jawab santri.

Sang Kiai terdiam sejenak. Lalu ia bertanya, “Apakah kamu punya sebuah kemoceng di rumahmu?”

“Ya, saya punya sebuah kemoceng Kiai. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?”

“Besok pagi, berjalanlah dari kamarmu ke pondokku. Berkelilinglah di lapangan sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kamu mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kamu lalui. Kamu akan belajar sesuatu darinya.”

Keesokan harinya, sang santri menemui Kiai dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulu pun pada gagangnya. Ia segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada Sang Kiai.

“Ini, Kiai, bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu di sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari lima kilo dari rumah saya ke pondok ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang Kiai. Maafkan saya, Kiai.”

Sang Kiai terdiam sejenak, lalu berkata, “Kini pulanglah. Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kamu menuju pondokku. Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yang tadi kau cabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kamu kumpulkan.”

Sepanjang perjalanan pulang, sang santri berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi dilepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan.

Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel di bangunan-bangunan pesantren ini, atau tersapu ke tempat yang kini tak mungkin ia ketahui.

Sang santri terus berjalan. Setelah berjam-jam, ia berdiri di depan kamarnya dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasnya terasa berat. Tenggorokannya kering. Hanya ada lima helai bulu kemoceng yang berhasil ditemukan di sepanjang perjalanan.

Hari berikutnya sang santri menemui Sang Kiai dengan wajah yang murung sambil menyodorkan lima helai bulu ke hadapan Sang Kiai.

"Kiai, saya mohon maaf. Hanya ini yang berhasil saya temukan.” 

"Kini kamu telah belajar sesuatu,” kata Sang Kiai.

“Apa yang telah aku pelajari, Kiai?” Tanya santri itu.

“Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab Sang Kiai.

“Bulu-bulu yang kamu cabuti dan kamu jatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kamu sebarkan. Meskipun kamu benar-benar menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yg beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kamu duga-duga, ke berbagai wilayah yang tak mungkin bisa kamu hitung!."

"Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri. Barangkali kamu akan berusaha meluruskannya, karena kamu benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kamu tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kamu tak bisa menghentikan semua itu!,"

"Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kamu bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kamu kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya."

Sang Kiai terdiam sejenak kemudian melanjutkan nasihatnya:

"Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Meskipun aku atau siapa pun saja yang kamu fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya. Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi."

"Maka kamu tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak. Itulah kenapa, fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan."

Bayangkan bagaimana kalau bulu-bulu kemoceng itu tersebar di dunia media sosial. Dunia digital yang akan selalu ada meski kita sudah menghapusnya. Maka, setiap kita posting coba di telaah dulu fitnah atau bukan?

Shofwan Alwie Husein. Alumni Pesantren Lirboyo (Disarikan dari Kumpulan Kisah Inspiratif)



Sumber : NU Online

Rabu, 06 Februari 2019

PRESIDEN YANG LEBIH DARI PRESIDEN

Gus Dur yang kala itu menjabat Presiden, orang nomor satu di negeri ini bisa bersikap rendah hati dan sabar saat dimarahi dan dibentak oleh seorang istri protokoler Istana.
“Bapak nggak pernah merasa tinggi hati, misalnya gini, kan ada tuh Kepala Protokol Istana dia cerita. Bapak pernah telepon dia jam 04.00 WIB pagi. Kan Bapak memang sudah bangun jam segitu, jam 05.00 WIB bapak itu mulai terima tamu sambil jalan kaki dan bapak itu suka mendadak ingin ketemu siapa hari itu dan biasanya telepon protokol,” ucap Inayah mengawali cerita.
Saat itu memang Kepala Protokol baru pulang malam. Gus Dur lalu menelepon menggunakan nomor ajudannya pukul 04.00 WIB pagi. Kebetulan yang menganggat telepon istri Kepala Protokol.
“Jadi pas di layar HP muncul nama ajudan kan. Diangkat sama istrinya dengan nada tinggi “Siapa inih?”
“Abdurrahman,” jawab Gus Dur.
“Mau ngapain!” tanya istri protokol dengan nada tinggi.
“Mau bicara sama Pak Wahyu ada?” jawab Gus Dur dengan logat Jawanya.
“Nggak ada! Tidur Pak Wahyu! Jam segini kok masih telepon aja,” katanya sambil memutus sambungan telepon. Lalu Gus Dur menelepon kembali.
“Siapa ini?” tanyanya.
“Abdurrahman,” jawaban yang sama diucapkan Gus Dur.
“Heh nggak tahu apa jam segini, ini waktunya orang tidur. Kalau perlu besok pagi aja, ganggu orang tidur!” lalu telepon ditutup.
Suara istri protokol yang keras itu membuat suaminya terbangun. Si suami lalu bertanya. “Siapa Mah?”
“Nggak tahu tuh Abdurrahman,” jawab si istri dengan nada kesal.
Lalu si suami melihat layar di HP, kaget bukan main saat dia tahu bahwa yang menelepon tadi ternyata Presiden.

“Mahhhh… itu Presiden!”.
Istrinya tak kalah kaget dan langsung lemas. “Haaaaaah! Gimana Pak saya ngomelin Presiden?”
Lalu setelah insiden itu, Ketua Protokoler Istana itu meminta maaf. Gus Dur tidak marah, dia hanya tertawa saja.

"Orang yang bahagia itu akan selalu menyediakan waktu untuk membaca karena membaca itu sumber hikmah; menyediakan waktu tertawa karena tertawa itu musiknya jiwa; menyediakan waktu untuk berpikir karena berpikir itu pokok kemajuan; menyediakan waktu untuk beramal karena beramal itu pangkal kejayaan; menyediakan waktu untuk bersenda-gurau karena bersenda itu akan membuat muda selalu; dan menyediakan waktu beribadah karena beribadah itu adalah ibu dari segala ketenangan jiwa."

(Kata Mutiara, Anonim)