Pages

Rabu, 06 Februari 2019

PRESIDEN YANG LEBIH DARI PRESIDEN

Gus Dur yang kala itu menjabat Presiden, orang nomor satu di negeri ini bisa bersikap rendah hati dan sabar saat dimarahi dan dibentak oleh seorang istri protokoler Istana.
“Bapak nggak pernah merasa tinggi hati, misalnya gini, kan ada tuh Kepala Protokol Istana dia cerita. Bapak pernah telepon dia jam 04.00 WIB pagi. Kan Bapak memang sudah bangun jam segitu, jam 05.00 WIB bapak itu mulai terima tamu sambil jalan kaki dan bapak itu suka mendadak ingin ketemu siapa hari itu dan biasanya telepon protokol,” ucap Inayah mengawali cerita.
Saat itu memang Kepala Protokol baru pulang malam. Gus Dur lalu menelepon menggunakan nomor ajudannya pukul 04.00 WIB pagi. Kebetulan yang menganggat telepon istri Kepala Protokol.
“Jadi pas di layar HP muncul nama ajudan kan. Diangkat sama istrinya dengan nada tinggi “Siapa inih?”
“Abdurrahman,” jawab Gus Dur.
“Mau ngapain!” tanya istri protokol dengan nada tinggi.
“Mau bicara sama Pak Wahyu ada?” jawab Gus Dur dengan logat Jawanya.
“Nggak ada! Tidur Pak Wahyu! Jam segini kok masih telepon aja,” katanya sambil memutus sambungan telepon. Lalu Gus Dur menelepon kembali.
“Siapa ini?” tanyanya.
“Abdurrahman,” jawaban yang sama diucapkan Gus Dur.
“Heh nggak tahu apa jam segini, ini waktunya orang tidur. Kalau perlu besok pagi aja, ganggu orang tidur!” lalu telepon ditutup.
Suara istri protokol yang keras itu membuat suaminya terbangun. Si suami lalu bertanya. “Siapa Mah?”
“Nggak tahu tuh Abdurrahman,” jawab si istri dengan nada kesal.
Lalu si suami melihat layar di HP, kaget bukan main saat dia tahu bahwa yang menelepon tadi ternyata Presiden.

“Mahhhh… itu Presiden!”.
Istrinya tak kalah kaget dan langsung lemas. “Haaaaaah! Gimana Pak saya ngomelin Presiden?”
Lalu setelah insiden itu, Ketua Protokoler Istana itu meminta maaf. Gus Dur tidak marah, dia hanya tertawa saja.

"Orang yang bahagia itu akan selalu menyediakan waktu untuk membaca karena membaca itu sumber hikmah; menyediakan waktu tertawa karena tertawa itu musiknya jiwa; menyediakan waktu untuk berpikir karena berpikir itu pokok kemajuan; menyediakan waktu untuk beramal karena beramal itu pangkal kejayaan; menyediakan waktu untuk bersenda-gurau karena bersenda itu akan membuat muda selalu; dan menyediakan waktu beribadah karena beribadah itu adalah ibu dari segala ketenangan jiwa."

(Kata Mutiara, Anonim)