Pages

Senin, 02 September 2019

Sejarah Berdirinya LP. Ma'arif NU

LP MA‘ARIF NU DARI MASA KE MASA
Oleh : Z. ARIFIN JUNAIDI 
(KETUA PENGURUS LP MA‘ARIF NU PUSAT)
A. Pengantar
Dengan jumlah anggota mencapai 83 juta orang (menurut survaey ISNU) tak pelak lagi Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Sumber lain menyatakan jumlah anggota NU 70 juta orang (Antara News 2011), sedangkan Indo Barometer, menemukan dari sekitar 191,4 juta penduduk Indonesia yang Muslim (mengadopsi data sensus tahun 2000), sekitar 75 persen dari jumlah tersebut mengaku warga nahdliyin. Artinya jumlah warga NU sekitar 143 juta tahun 2000.
Salah satu tujuan dari didirikannya NU adalah untuk mewujudkan peningkatan kualitas sumberdaya manusia di lingkungan NU. Karenanya Bagi NU, pendidikan menjadi pilar utama yang harus ditegakkan demi mewujudkan masyarakat yang mandiri. Gagasan dan gerakan pendidikan ini telah dimulai sejak perintisan pendirian NU di Indonesia. Dimulai dari gerakan ekonomi kerakyatan melalui Nadlatut Tujjar (1918), disusul dengan Tashwirul Afkar (1922) sebagai gerakan keilmuan dan kebudayaan, hingga Nahdlatul Wathan (1924) yang merupakan gerakan politik di bidang pendidikan, maka ditemukanlah tiga pilar penting bagi Nadhlatul Ulama yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1334 H, yaitu: (1) ekonomi kerakyatan; (2) pendidikan; dan (3) kebangsaan.
Untuk merealisasikan pilar-pilar tersebut NU secara aktif melakukan gerakan sosial- keagamaan untuk memberdayakan umat. Di sini dirasakan pentingnya membuat lini organisasi yang efektif dan mampu merepresentasikan cita-cita NU. Maka lahirlah lembaga-lembaga dan lajnah; Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif, Lembaga Dakwah, Lembaga Sosial Mabarrot, Lembaga Pengembangan Pertanian, dan lain sebagainya. LP Ma‘arif NU dibentuk untuk melakukan gerakan pemberdayaan umat di bidang pendidikan yang sejak semula menjadi perhatian para ulama pendiri (the founding fathers) NU.
LP Ma’arif NU merupakan aparat departementasi Nahdlatul Ulama (NU) yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan-kebijakan pendidikan Nahdlatul Ulama, yang ada di tingkat Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang, dan Pengurus Majelis Wakil Cabang. Berdasarkan Hasil Muktamar NU ke-33 tahun 2015 di Jombang, kedudukan dan fungsi LP Ma’arif NU diatur dalam Anggaran Dasar (AD) NU BAB VI tentang Struktur dan Perangkat Organisasi Pasal 12 dan 13, serta ART BAB V Pasal 16 tentang Perangkat Organisasi. Pasal 17 ayat (1) BAB tersebut menggariskan, ―lembaga adalah perangkat departementasi organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan Nahdlatul Ulama berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan/atau yang memerlukan penanganan khusus. Sedangkan dalam ayat (6) b BAB dan Pasal tersebut disebutkan, Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama disingkat LP Maarif NU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pendidikan dan pengajaran formal.
Dalam perjalanannya semua urusan pendidikan diserahkan kepada LP Ma’arif NU yang memang secara aktif berperan dalam proses-proses pengembangan pendidikan di Indonesia. Secara institusional, LP Ma’arif NU juga mendirikan satuan-satuan pendidikan mulai dari pra sekolah, tingkat dasar, menengah hingga perguruan tinggi; sekolah yang dalam struktur pemerintah di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI maupun madrasah yang dalam struktur pemerintah di bawah Kementerian Agama (Kemenag) RI. Namun sejak Muktamar NU ke-32 tahun 2010 di Makassar LP Ma‘arif NU hanya diserahi urusan pendidikan dasar dan menengah sesuai amanat AD/ART NU sebagaimana diuraikan di atas. Data yang ada di Pengurus LP Ma‘arif NU Pusat saat ini ada 12.780 sekolah/madrasah yang bernaung di bawah LP Ma‘arif NU yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, yang terdiri dari SD/MI 7.092 satpen, SMP/MTs 3.929 satpen dan SMA/SMK/MA 1.759 satpen.
B. Awal Mula dan Founding Fathers
Keberadaan LP Ma‘arif NU dimulai dari pertemuan KHA. Wahid Hasyim, KH. Mahfudz Shiddiq dan KH. Abdullah Ubaid, pada awal September 1929 di kantor Hoof Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO) Jl. Bubutan Kawatan Surabaya, menjelang dilangsungkannya Muktamar NU ke-4 di Semarang. Pertemuan itu diadakan atas perintah Rais Akbar NU Hadratussysyaikh KHM. Hasyim Asy‘ari, merespons permintaan KHA. Wahab Hasbullah yang mengusulkan agar ada badan khusus di tubuh HBNO yang mewadahi dan menangani bidang pendidikan. Selain itu. KHA. Wahab Hasbullah juga menyampaikan pemikiran agar inovasi dalam bidang pendidikan yang dirintis Wahid Hasyim di PP Tebuireng. diterapkan pesantren- pesantren lain, dengan demikian kemandirian dalam mendidik dan kualitas pendidikan meningkatkan. Sesuai dengan kelahiran NU untuk mempertahankan dan mengembangkan aswaja serta membentuk akhlak umat dan bangsa diharapkan terwujud melalui badan khusus tersebut. Karena itulah Hadratussysyaikh KHM. Hasyim Asy‘ari meminta agar Wahid Hasyim menyampaikan pokok-pokok pikirannya kepada Mahfudz Shiddiq dan Abdullah Ubaid, dua aktifis dan motor penggerak NU saat itu.

1. Wahid Hasyim

Saat itu Wahid Hasyim belum aktif di NU, sedangkan Mahfudz Shiddiq dan Abdullah Ubaid sudah masuk dalam jajaran pengurus HBNO. Namun demikian Wahid Hasyim (lahir 1 Juni 1914), putra Rais Akbar NU Hadratussysyaikh KHM. Hasyim Asy‘ari, yang saat itu baru berusia 15 tahun sudah merintis pendidikan yang memadukan pola pengajaran pesantren yang menitikberatkan pada ajaran agama dengan pelajaran ilmu umum. Sistem klasikal diubah menjadi sistem tutorial. Selain pelajaran Bahasa Arab, murid juga diajari Bahasa Inggris dan Belanda yang dikuasai Wahid Hasyim secara otodidak. Pada tahun 1932 dalam usia 18 tahun menuntut ilmu ke Makkah, sekembali ke tanah air pada tahun 1935 ―gebrakan‖ baru dalam dunia pendidikan pada masa itu lalu diwujudkannya menjadi Madrasah Nidzamiyah.
Perhatian Wahid Hasyim kepada pendidikan sangat besar. Pada tahun 1944 Wahid Hasyim mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengelolaannya diserahkan kepada KHA. Kahar Muzakkir. Saat menjabat Menteri Agama pada tahun 1950 Wahid Hasyim mengeluarkan peraturan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) yang menjadi cikal bakal IAIN dan UIN sekarang. Selain itu juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta, mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Banda-Aceh, Bandung, Bukittinggi, dan Yogyakarta, serta mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Tanjungpinang, Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, dan Salatiga. Wahid Hasyim juga mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk mendirikan masjid Negara yang kemudian diberi nama Masjid Istiqlal. Pada 19 April 1953 dalam usia yang relatif muda, 39 tahun, KHA. Wahid Hasyim meninggal dunia dalam kecelakan kendaraan bermotor di Cimindi Jawa Barat.

2. Abdullah Ubaid

Tokoh lain yang wafat seusia adalah Abdullah Ubaid. Seperti halnya Wahid Hasyim, tokoh yang lahir pada tahun 1899 ini termasuk sosok yang telah menunjukkan keistimewaannya sejak muda. Sosok ulama yang satu ini digolongkan sebagai salah seorang tokoh pemuda yang mendahului zamannya. Pendidikan formal pertama didapat dari Madrasah Al Chairiyah. Setamat dari madrasah tersebut, Abdullah Ubaid kembali ke Pasuruan dan kemudian pada usia 14 tahun dikirim ke Tebuireng, untuk meneruskan pendidikan pada Hadratusysyaikh KH Hasyim Asy‘ari. Sekembalinya dari Tebuireng, tahun 1919 dia diangkat menjadi guru di Madrasah Nahdlatul Wathan dan juga diminta mengajar di Madrasah Al Chairiyah, almamaternya, yang bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Arab. Abdullah Ubaid mampu memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Nahdlatul Wathan, ketika ia berperan di dalamnya baik sebagai guru maupun sebagai penggeraknya yang dapat membuka cabang-cabang di beberapa kota di luar Surabaya.
Bersama Mahfudz Siddiq dan Thohir Bakri, Abdullah Ubaid tercatat sebagai pendiri Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor). Organisasi tersebut semula bernama Syubbanul Wathan yang didirikan pada tahun 1924. Kemudian pada tahun 1932 berubah menjadi BANO (Barisan Ansor Nahdlatul Oelama), yang kemudian menjadi ANO (Ansor Nahdlatul Oelama), dan seterusnya GP(Gerakan Pemuda) Ansor, hingga sekarang.
Peran utama Ansor pada saat itu, adalah mendidik dan membangkitkan semangat pemuda untuk bersama-sama dengan kekuatan bangsa lainnya serta mempersatukan kekuatan pemuda untuk memperjuangkan hak-haknya yang terjajah di negerinya sendiri. Abdullah Ubaid juga dikenal sebagai tokoh pendidikan, sebagaimana ditulis Wahid Hasyim dalam artikel yang berjudul ―Abdullah Ubaid Sebagai Pendidik‖ yang dimuat di majalah yang diterbitkan Lembaga Pendidikan Ma’arif “Suluh NU”, Agustus 1941, Th. I No. 5. Pada 8 Agustus 1938. Abdullah Ubaid meninggal dunia karena sakit yang diderita sejak kecelakaan kendaraan bermotor yang dialaminya usai mengikuti Muktamar NU ke-13 pada Juni 1938 di Menes, Banten, Jawa Barat.

3. Mahfudz Shiddiq

Saat belajar di PP Tebuireng Abdullah Ubaid bertemu dan berteman akrab dengan Mahfudz Siddiq dari Jember, seorang pemuda yang di kemudian hari dikenal sebagai penggerak NU lewat majalah dan organisasi kepemudaan. Di masa remajanya, Mahfudz Shiddiq adalah seorang aktivis dan organisatoris yang sangat piawai. Mahfudz Shiddiq yang pernah menjabat Ketua Tanfidziyah PBNU, Rais PBNU, adalah Perumus Konsep ―Mabadi Khaira Umah‖, Perintis Gerakan Muawanah, Pemimpin Majalah ―Berita Nahdlatul Ulama‖. Mahfudz Shiddiq juga menulis buku ―Ijtihad dan Taqlid untuk Rekonsiliasi‖. Watak sebagai pendidik Mahfudz Shiddiq kentara sekali sepanjang masa hidupnya. Bermula dari menjadi pengasuh dan pengajar bagi adik-adiknya. Mahfud Shiddiq dikenal sebagai sosok yang sabar, tenang, dan sangat cerdas.. Mahfud Shiddiq juga suka berpenampilan necis dan rapi. Wawasan berfikirnya amat luas dan modern, baik dalam ilmu agama maupun pengetahuan umum. Sebagaimana dua sahabatnya itu Mahfudz Shiddiq, yang lahir pada tahun 1906 meninggal pada tahun 1944, dalam usia yang relative muda, yakni 38 tahun.
Pertemuan Wahid Hasyim, Mahfudz Shiddiq dan Abdullah Ubaid, pada awal September 1929 di kantor Hoof Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO) Jl. Bubutan Kawatan Surabaya itu, membuahkan hasil  perlunya dibentuk lembaga/bagian di HBNO yang khusus mengurusi pendidikan, yang diberi nama Ma‘arif. Usulan pembentukan Ma‘arif itu disahkan pada tanggal 19 September 1929 di Muktamar NU ke-4 yang dilaksanakan 17-20 September 1929 di Semarang. HBNO Hasil Muktamar Semarang menunjuk Abdullah Ubaid sebagai Ketua yang membidangi Ma‘arif (pendidikan).
  • Ma‘arif Dalam Pusaran Sejarah
Ma‘arif terus menjalankan tugas yang dibebankan NU untuk mencerdaskan bangsa, sesuai dengan dinamika perkembangan NU dan bangsa. Sejak tahun 1935 NU mulai merintis madrasah di luar pesantren, yang dilaksanakan secara klasikal. Sistem kelas yang disusun meliputi Madrasah Umum dan Madrasah Ikhtishashiyyah (kejuruan). Madrasah Umum dengan 13 jenjang kelas dari tingkat Awwaliyah (2 tahun), Ibtida‘iyah (3 tahun),Tsanawiyah (3 tahun), Mu‘allimin Wustha (2 tahun) dan Mu‘allimin Ulya (3 tahun). Sedangkan bidang kejuruannya meliputi bidang Qudlat (hukum), Tijarah (perdagangan), Nijarah (pertukangan), Zira‘ah (pertanian), Fuqara‘ (sekolah khusus fakir miskin) dan Kejuruan khusus. Pada tahun 1937, NU mempelopori pendirian al Majlis al Islami al A‘la Indonesia (MIAI) dalam rangka mempersatukan langkah organisasi Islam di Indonesia.Tampil sebagai ketua Wahid Hasyim dengan Faqih Usman dari Muhammadiyah sebagai sekretarisnya.
Ketika penjajah Jepang masuk Indonesia pada Maret 1942 perkumpulan NU dan organisasi lainnya dibubarkan oleh pemerintah pendudukan Jepang. Para ulama melanjutkan gerakannya di MIAI dan kemudian mendirikan Majelis Syuro Muslimn Indonesia (Masyumi). Setelah Masyumi berdiri, MIAI dibubarkan. Melalui Masyumi dan juga melalui pengaruh para kyai di Shumubu, NU senantiasa membela kepentingan umat Islam, masih dengan cara-cara akomodatif. September 1943 M, atas permintaan Wahid Hasyim lewat parlemen Jepang mengijinkan NU dan Muhammadiyah diaktifkan kembali dan bisa beraktivitas seperti di masa penjajahan Belanda. Namun demikian masa pendudukan Jepang yang sangat singkat, tahun 1942-1945, adalah masa yang sangat sulit bagi bangsa Indonesia, termasuk NU. Namun demikian, dengan segala kesulitan dan keterbatasannya saat itu Ma‘arif tetap menjalankan tugasnya mencerdaskan anak bangsa.
Paska Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 NU menyelenggarakan Muktamar NU ke-16 pada 26-29 Maret 1946 di Purwokerto. Ini adalah Muktamar pertama setelah Muktamar NU ke-15 yang diadakan pada tahun 1940. Sebelumnya, sejak berdiri pada tahun 1926 hingga 1940, NU menyelenggarakan Muktamar setiap tahun sekali. Dalam Khutbah Iftitahnya pada pembukaan Muktamar Purwokerto tersebut Rais Akbar Hadratussysyaikh KHM. Hasyim Asy‘ari menekankan pentingnya pendidikan setelah bangsa dan Negara Indonesia merdeka. “kita harus memusatkan segala perhatian untuk mendidik orang-orang kita, dan melatih anak-anak kita hingga cakap bagi kehidupan di masa yang akan datang di dalam segala lapangannya, politik, militer, sipil, industri dan ekonomi serta yang lainnya. Itu semua harus kita jalankan dengan tenang, diam, dan tenteram”, tegasnya.
Tanggal 25 Mei 1947 diselenggarakan Muktamar NU ke-17 di kota Madiun. Dalam muktamar ini atas prakarsa Wahid Hasyim didirikan ―Biro Politik NU‖, dan disetujui oleh Muktamar. Biro ini bertugas mengadakan perundingan-perundingan dengan kelompok intelektual yang mendominasi Masyumi, guna menyelesaikan berbagai ketimpangan yang dirasakan amat merugikan NU. Salah satu cara untuk itu, Wahid Hasyim yang diserahi memimpin Ma‘arif sepeninggal Mahfudz Shiddiq tahun 1944, mengusulkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga pendidikan di lingkungan NU.
Mengantisipasi akan dikeluarkannya Peraturan Presiden yang akan melarang organisasi/partai politik melakukan kegiatan dakwah dan sosial budaya pada tahun 1959 NU merubah Ma‘arif menjadi Badan Otonom agar tetap bisa menjalankan kegiatannya. Seperti diketahui saat itu NU sudah menjadi partai politik. Dalam Muktamar NU ke-19 tahun 1952 di Palembang diputuskan bahwa NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik sendiri. Hal ini disebabkan oleh sikap eksekutif partai yang tidak lagi menganggap Majlis Syuro sebagai dewan tertinggi. Setelah keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik yang berdiri sendiri itu, NU disibukkan dengan persiapan pemilihan umum pertama tahun 1955. Waktu yang dimiliki NU untuk bertarung dalam Pemilu 1955 relatif pendek jika dibandingkan dengan partai-partai besar lainnya. Namun demikian NU berhasil meraih 18,4 persen suara (45 kursi) di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mendapatkan 22,3 persen suara (57 kursi) dan Masyumi yang memperoleh 20,9 suara (57 kursi).
Muktamar NU ke-22 yang diselenggarakan 13 – 18 Desember 1959 di Jakarta dalam bidang organisasi menetapkan Ma‘arif menjadi Badan Otonom. Keputusan bidang organisasi poin 5 selengkapnya (dalam ejaan lama); 5. Menetapkan definisi tentang: a. Bagian, jang dimaksud badan otonom‘ jalahdepartemen dari pada Partai jang bertugas memimpin, merentjanakan dan memikirkan kesempurnaan terlaksananja tudjuan serta usaha Partai sesuai dengan bidangnja masing2. Sesuai dengan ketentuan tersebut dalam kitab Anggaran Rumah Tangga Partai fasal (23), maka dalam melaksanakan tugasnja baik kedalam maupun keluar, haruslah mendapat pengetahuan dan persetudjuan Pengurus Partai. b. Badan Otonom, jang dimaksud ―badan otonom jalah suatu Organisasi Non-Politik jang bersifat vertical jang mempunjai Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga sendiri dan bersumber pada AD dan ART Partai bab VIII fasal (24). c. Badan Keluarga, jang dimaksud dengan badan keluarga‘ jalah suatu Organisasi Non-Politik jang mempunjai Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga sendiri jang bersifat vertical jang karena gerak dan langkahnja bersifat merealisasikan salah satu Pokok- Usaha Partai tersebut didalam AD Partai Pasal (4), maka berindukkan kepada salah satu Bagian atau Badan Otonom Partai. Sedangkan poin 8 menggariskan ―Bagian Ma‘arif berhubung dengan tingkat perkembangan diwaktu sekarang dan masa jang akan datang didjadikan Badan Otonom seperti halnja Muslimat, Ansor, Pertanu, Sarbumusi dan lain-lainnja. Organisasi2 seperti IPNU, IPPNU, PERGUNU dan lain2 organisasi sebidang jang diperlukan menurut kebutuhan dan perkembangannja, merupakan Badan2 Keluarga jang berinduk organisasi kepada Ma‘arif.
Sekitar dua minggu setelah keputusan menjadikan Ma‘arif sebagai badan otonom itu keluar Penetapan Presiden (Penpres) Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1959 Tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian tertanggal 31 Desember 1959. Meski dalam Penpres tersebut tidak ada satu pun pasal atau ayat yang melarang organisasi/partai politik melakukan kegiatan dakwah dan sosial budaya, termasuk pendidikan, namun pada kenyataannya berdasarkan Penpres tersebut organisasi/partai politik dibatasi kegiatannya di bidang dakwah dan sosial budaya, termasuk pendidikan.
  1. Anak Pinak

1. IPNU

Bukan tanpa alasan Muktamar NU ke-22 memasukkan IPNU, IPPNU dan PERGUNU sebagai Badan Keluarga Ma‘arif, karena ketiga organisasi itu lahir dari rahim Ma‘arif. IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama IPNU) adalah badan otonom Nahldlatul Ulama yang berfungsi membantu melaksanakan kebijakan NU pada segmen pelajar dan santri putra. Didirikan di Semarang pada tanggal 24 Pebruari 1954, saat berlangsungnya Konbes LP Ma‘arif NU. Pendiri IPNU adalah
  1. ShufyanCholil (mahasiswa UGM), H. Musthafa (Solo),dan Abdul Ghony Farida (Semarang). Ketua Umum Pertama IPNU adalah M. Tholhah Mansoer yang terpilih dalam Konferensi Segi Lima yang diselenggarakan di Solo pada 30 April-1 Mei 1954. Keputusan IPNU sebagai Badan Otonom NU ditetapkan dalam Muktamar NU ke-20 tahun 1954 di Surabaya yang menyatakan, bahwa IPNU adalah satu-satunya organisasi pelajar yang secara resmi bernaung di bawah NU dan hanya untuk laki-laki. Sedangkan pelajar putri akan diwadahi secara terpisah.

2. IPPNU

Berdasarkan keputusan muktamar itu beberapa aktifis pelajar putri menggagas perunya dibentuk organisasi pelajar khusus untuk putri. Setelah mengadakan konsultasi dengan dua orang jajaran pengurus teras badan otonom NU yang diserahi tanggung jawab dalam pembinaan organisasi pelajar yaitu, Ketua PB Ma‘arif NU, KHM. Syukri Ghazali, dan Ketua PP Muslimat NU, Hj. Mahmudah Mawardi, yang juga sesekali hadir dalam pertemuan itu, keinginan agar untuk selanjutnya IPNU-Putri adalah badan yang terpisah dari IPNU mewujud. Pada tanggal 28 Februari-5 Maret 1955 para aktifis pelajar putrid NU mengadakan pertemuan di Malang dan menyepakati pembentukan organisasi IPNU-Putri yang secara organisatoris dan administratif terpisah dari IPNU. Deklarasi terbentuknya
IPNU-Putri, yang kemudian menjadi IPPNU, dilakukan pada tanggal 2 Maret 1955. Untuk menjalankan roda organisasi dan membentuk cabang-cabang ditetapkan susunan pengurus Dewan Harian (DH) IPPNU yang diketuai Umroh Machfudzoh Wahib.

3. PERGUNU

PERGUNU (Persatuan Guru Nahdlatul Ulama) lahir sesudah dua organisasi pelajar tersebut, meski sudah dirintis sejak sebelumnya, tepatnya tahun 1952. Organisasi ini dibentuk atas inisiatif para peserta Kongres Ma‘arif se-Indonesia, yang antara lain memberikan mandat kepada Ma‘arif Cabang Surabaya untuk menyiapkan pembentukannya. Pada tanggal 1 Mei 1958, Ma‘arif Cabang Surabaya berhasil membentuk Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PERGUNU) Cabang Surabaya yang sekaligus sebagai kantor pusatnya. Kemudian, berdasarkan hasil Muktamar II PERGUNU, kedudukan kantor pusat dipindahkan ke Jakarta. Sejak lahir hingga akhir pemerintahan Orde Lama, roda organisasi PERGUNU berjalan baik.
Namun, selama masa Orde Baru, PERGUNU seolah-olah mati-suri, tidak menunjukkan aktivitas yang cukup berarti. Apalagi ketika pada Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo NU memutuskan kembali ke Khitah 1926 dan tidak berpolitik praktis, PERGUNU seperti terlepas dari NU. Dari Muktamar Situbondo hingga Muktamar NU ke-31 tahun 2005 di Solo Anggaran Rumah Tangga (ART) NU tak lagi memasukkan PERGUNU dalam daftar badan otonom NU. Barulah pada Muktamar NU ke-32 tahun 2010 di Makassar PERGUNU kembali dinyatakan sebagai salah satu badan otonom (banom) NU, dan kini tercantum dalam pasal 18 ayat (7) huruf f ART NU Hasil Muktamar NU ke-33 tahun 2015 di Jombang.

4. PMII

Ada lagi organisasi yang lahir sebagai anak pinak Ma‘arif, yakni PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Gagasan pendirian organisasi  mahasiswa NU muncul pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Namun gagasan itu belum terwujud. Baru pada Muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma‘il Makki (Yogyakarta). Kemudian pada Konferensi Besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang tanggal 14-17 Maret 1960 diputuskan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi. Sebulan kemudian, tepatnya tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Mu‘amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung di bawah NU. Dari musyawarah tersebut pada tanggal 17 April 1960 dideklarasikan organisasi mahasiswa yang bernama PMII.
PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Namun pemerintahan Orde Baru pelan tapi pasti mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi-organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK. Karenanya PMII melalui Mubes ke-III di Murnajati 14 Juli 1972, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII. Karena PMII sudah menyatakan independen, tak terikat lagi dengan NU maka keberadaannya sebagai badan otonom NU pun dihilangkan di ART NU. Baru pada Muktamar NU ke-33 tahun 2015 di Jombang PMII kembali masuk dalam daftar badan otonom NU, sebagaimana tercantum dalam ART NU Pasal 18 ayat (6) d.
C. Nakhoda Ma‘arif
  1. Abdullah Ubaid(1929-1938);
  2. Mahfudz Shiddiq(1938-1940);
  3. Wahid Hasyim(1940-1946);
  4. Fathurrahman (1946 – 1949);
  5. Anwar Musaddad (1949 – 1951);
  6. Moh. Ansor Suryohadibroto (1951 – 1954);
  7. Syukri Ghazali(1954-1959);
  8. HA.Aziz Dijar (1959-1977), sesuai Akte Notaris RM. Soeroto No 83/1972;
  9. Zaini Miftach(1977-1981);
  10. Aziz Dijar (1981-1985), sebelumnya Wakil Ketua pada masa KHA. Zaini Miftach;
  11. Musa Abdillah (1985-1989), sebelumnya Wakil Ketua pada masa HA. Aziz Dijar;
  12. Dr. H. Achmad Sanusi SH, MPA (1990-1994);
  13. Ghafar Rahman, SH (1994-1999), sebelumnya Sekjen PBNU;
  14. HM. Nadjid Muchtar, MA (2000-2007), sebelumnya Wakil Ketua pada masaDrs. Musa Abdillah dan Prof. Dr. H. Achmad Sanusi SH, MPA, Sekretaris pada masa KHA. Zaini Miftach dan HA. Aziz Dijar;
  15. HM. Thoyib IM (2007-2010), sebelumnya Wakil Ketua pada masa Drs. HM. Nadjid Muchtar, MA (2005-2007);
  16. Dr. H. Manshur Ramly (2010-2013);
  17. Arifin Junaidi (2013 – sekarang)
  18. Penutup
Dari uraian di atas maka dapat dikemukakan du hal. Pertama, kelahiran LP Ma‘arif NU adalah untuk:
  1. Mewadahi lembaga pendidikan di lingkungan NU;
  2. Melakukan pembaharuan di bidang pendidikan;
  3. Meningkatkan kemandirian;
  4. Meningkatkan kualitas pendidikan;
  5. Mempertahankan dan mengembangkan aswaja;
  6. Membentuk karakter
Mengenai tanggal kelahiran dapat disimpulkan bahwa keberadaan Lembaga Pendidikan (LP) Ma‘arif NU mulai adanya keputusan Muktamar NU ke IV di Semarang yang digelar pada 12-15 Rabiuts Tsani 1348 H/17-20 September 1929. Keputusan disetujui adanya badan khusus LP Ma‘arif NU tepatnya diambil pada tanggal 19 September 1929, sehari sebelum penutupan Muktamar, sehingga tanggal tersebut bisa ditetapkan sebagai Hari Lahir LP Ma‘arif NU.
Jakarta, 23 November 2016

"Orang yang bahagia itu akan selalu menyediakan waktu untuk membaca karena membaca itu sumber hikmah; menyediakan waktu tertawa karena tertawa itu musiknya jiwa; menyediakan waktu untuk berpikir karena berpikir itu pokok kemajuan; menyediakan waktu untuk beramal karena beramal itu pangkal kejayaan; menyediakan waktu untuk bersenda-gurau karena bersenda itu akan membuat muda selalu; dan menyediakan waktu beribadah karena beribadah itu adalah ibu dari segala ketenangan jiwa."

(Kata Mutiara, Anonim)