Nahdatul Ulama adalah organisasi yang didirikan oleh para wali Allah. Sehingga, tata kelola dan manajemen organisasi pun terkadang dan seharusnya tidak boleh jauh dari prinsip kewalian. Termasuk dalam menentukan kepemimpinan dalam organisasi.
Bila dulu KH Kholil Bangkalan memberi tongkat dan tasbih kepada KH Hasyim Asyari sebagai ‘isyarat langit’ persetujuan pendirian organisasi NU, maka dalam perjalanan organisasi, isyarat seperti demikian juga acap kali dan seharusnya tetap terjadi.
Adalah KH Ahmad Shiddiq yang mengalami dua ‘isyarat surban’ sehingga beliau terpilih menjadi Rais Am PBNU pada tahun 1984.
Pertama; Ketika diadakan musyawarah para kiai sepuh tentang penentuan Rais ‘Aam, tiba tiba saja KH Mahrus Ali Lirboyo memberikan surban ke pangkuan KH Ahmad Shiddiq seraya berkata “Surban ini dari Nabi Khidir, panjenengan harus bersedia menjadi Rais Aam PBNU”. Maka, KH Ahmad Shiddiq yang dari awal menolak dipilih, menangis tersedu mengingat betapa beratnya amanat yang dipasrahkan kepada beliau. (Cerita dari KH Firjaun, putera KH Ahmad Shiddiq kepada penulis).
Kedua; Ketika hendak diadakan Munas NU di Situbondo yang akan membahas Pancasila sebagai asas tunggal, KH Abdul Hamid Pasuruan memerintahkan santri beliau untuk memberikan surban kepada KH Ahmad Shiddiq di Jember. KH Abdul Hamid juga berkata “berikan surban ini ke KH Ahmad Shidiq karena beliau akan menghadapi perang badar”. Sang santri juga tidak memahami apa yang dimaksud ‘perang badar’. Dan di Munas tersebut semua kiai dan NU pada akhirnya setuju Pancasila sebagai asas tunggal. Dan juga setelah Munas di Situbondo itu beliau KH Ahmad Shiddiq diminta oleh para kiai menjadi Rais Aam PBNU. (Cerita santri tersebut yang bernama KH Iqbal Ridwan kepada penulis).
Penulis: KH Ahmad Gholban Aunir Rahman, Pengasuh Pondok Pesantren Putri (PPI) Zainab Shiddiq Jember Jawa Timur.
Keterangan Foto: Rais ‘Am PBNU KH Ahmad Shiddiq bersama Almarhum Ayahanda KH Nadhir Muhammad waktu acara khitan penulis.
.
Sumber: Bangkitmedia.com