REFLEKSI & TAUSHIYAH KEBANGSAAN NAHDLATUL ULAMA MEMASUKI TAHUN 2020
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم
Tahun 2019 telah berakhir. Banyak peristiwa penting terjadi yang layak dipetik sebagai pelajaran untuk memperkuat pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Hajatan demokrasi terbesar yaitu Pilpres dan Pileg berlangsung di tahun 2019, dengan segala dinamika dan ketegangannya. Dengan segala riuh-rendah dan ancaman segregasi sosial bernuansa SARA, bangsa Indonesia—Alhamdulillah—lolos dari prahara perpecahan. Rekonsiliasi perlu didorong terus-menerus melalui semen-semen perekat sosial yang mengembalikan semangat gotong royong, tepo seliro, rukun dan guyub yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia yang ber-bhinneka tunggal ika.
Nahdlatul Ulama merasa perlu mengingatkan kembali seluruh elemen bangsa tentang khittah NKRI. NKRI didirikan oleh para founding fathers dengan semangat kebersamaan. Pancasila adalah konsensus yang menengahi seluruh perbedaan, tenda besar yang menaungi seluruh komponen bangsa tanpa membedakan asal-usul suku, agama, ras, dan antar-golongan. Proses integrasi dipupuk untuk mengatasi segregasi horizontal dan vertikal dalam rangka menghapuskan diskriminasi sosial dan ekonomi. Seluruh warga negara sama kedudukannya di muka hukum. Tidak ada mayoritas dan minoritas. Tidak ada ras dan etnis tertentu yang lebih unggul dibanding yang lain. NKRI yang diikat oleh Pancasila dan UUD 1945 serta berdiri di atas prinsip Bhinneka Tunggal Ika merupakan prinsip-prinsip final yang harus dipertahankan sampai kapan pun.
Di tengah gelombang pasang kembali ke agama, para politisi hendaknya berhenti mengeksploitasi agama sebagai basis preferensi elektoral. Nahdlatul Ulama perlu mengingatkan tentang trilogi ukhuwwah sebagai fundamen membangun persaudaran yaitu persaudaran keislaman (ukhuwwah Islamiyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyah/insaniyah). Dia yang bukan saudaramu seagama adalah saudaramu sebangsa. Dia yang bukan saudaramu seagama dan sebangsa adalah saudaramu sesama anak manusia. Kebangkitan kembali ke agama hendaknya tidak melahirkan sektarianisme yang menimbulkan segregasi dan skisma sosial. Maraknya kampanye yang mengharamkan ucapan Selamat Natal, sebagai contoh, adalah wujud kegagalan mentransformasikan trilogi ukhuwwah itu. Semakin kuat kembali ke agama justru semakin cenderung ke arah eksklusivisme dan intoleransi. Seharusnya kembali ke agama adalah kembali ke ajaran welas asih, tepo seliro, lapang dada, adil, dan proporsional. Dalam konteks NKRI, beragama harus senafas dengan berbangsa. Kita bisa menjadi pemeluk agama yang taat sekaligus warga negara-bangsa yang baik. Radikalisme dan fundamentalisme yang mengeksploitasi agama sebagai basis segregasi harus ditolak dan dicegah melalui program deradikalisasi dan kontra-radikalisme yang tepat dan terarah.
Selain prinsip berbangsa dan bernegara yang tidak boleh berubah, Nahdlatul Ulama perlu mengingatkan sejumlah hal penting sebagai poin refleksi untuk memantapkan gerak dan laju bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan-tujuan nasionalnya yaitu keadilan sosial, infrastruktur sosial, pemerataan ekonomi dan bahaya oligarki, serta tantangan intoleransi.
KEADILAN SOSIAL
Dalam perspektif Pancasila yang disusun secara hirarkis-piramidal, runtutan sila-sila Pancasila terikat dan menjiwai sila-sila di bawahnya. Prinsip ketuhanan menjiwai dan mengandaikan lahirnya humanisme, humanisme membingkai dan hidup dalam taman sari nasionalisme, nasionalisme menjiwai demokrasi, dan demokrasi diperkuat dalam rangka menghasilkan keadilan sosial. Keadilan sosial yang sejatinya adalah output dari basic values penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan nilai yang tertinggal dibanding yang lain. Prinsip keadilan sosial belum menjiwai kehidupan politik, hukum, dan ekonomi. Rakyat kebanyakan masih menjadi objek politik yang dimobilisasi dalam ajang politik lima tahunan, tetapi kemudian ditinggalkan dalam proses pengambilan kebijakan publik. Hukum masih tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Ekonomi masih dikuasai oleh segelintir orang. Proses integrasi digalakkan di level horizontal, tetapi tidak bisa optimal karena integrasi vertikal dalam bentuk pemerataan penguasaan sumber-sumber daya publik tidak berjalan dengan baik.
Keadilan sosial adalah output (ghâyah) dari seluruh penyelenggaraan kehidupan publik. Tanpa bertumpu pada prinsip keadilan sosial, maka pembangunan—sehebat apa pun—hanya akan menjauh dan lepas dari jiwa Pancasila. Nahdlatul Ulama perlu mengingatkan kepada seluruh penyelenggara kehidupan publik bahwa keadilan sosial harus merupakan titik tolak dan goal dari seluruh rancang bangun pembangunan nasional. Dalam agama Islam, keadilan merupakan intisari dari ajaran Islam tentang kemasyarkatan. Keadilan merupakan nilai suci yang tidak pandang bulu. Islam tidak pernah mengajarkan bentuk baku sistem pemerintahan. Tetapi, Islam sangat menekankan dimensi keadilan dalam penyelenggaraan kehidupan sosial. Islam menyeru berbuat adil, bahkan terhadap mereka yang tidak kita sukai. Allah berfirman (QS. Al-Maidah/5: 8):
يا أيها الذين آمَنوا كونوا قوامين للّه شهداء بالقسط ۖ ولا يجرِمنكم شنآن قوم علىٰ ألا تعدلوا ۚ اعدلوا هو أقرب للتقوَى ۖ واتقوا اللّه ۚ إِنّ اللَّه خبير بما تعملون
Tanpa berpijak pada keadilan sosial, pembangunan akan menghasilkan patologi sosial dalam bentuk kriminalitas, anarkisme, dan radikalisme.
INFRASTRUKTUR SOSIAL
Salah satu kekuatan bangsa Indonesia adalah peran dan keberadaan ormas-ormas keagamaan yang menjalankan fungsi kohesi sosial. Ormas-ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama telah berperan penting menjadi jangkar sosial yang merekatkan bangunan sosial sebagai infrastruktur pembangunan. Tanpa keberadaan ormas-ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama, pemerintah akan kesulitan mengonsolidasikan masyarakat yang sangat majemuk seperti Indonesia. Fungsi pembangunan kohesi sosial ini tidak bisa diabaikan oleh siapa saja, terlebih jika kita menengok keadaan negara lain. Di negara-negara Timur Tengah dan Afrika yang mayoritas Muslim, mereka dilanda konflik yang parah pasca Arab Spring, saling bertikai di antara sesama orang Islam. Ini terjadi karena tidak adanya fungsi intermediasi yang dijalankan ormas-ormas keagamaan seperti di Indonesia. Di Indonesia, tensi sosial bisa diredam secara berjenjang—dari bawah hingga ke atas—karena bekerjanya fungsi intermediasi yang dijalankan ormas-ormas keagamaan. Karena itu, ormas-ormas keagamaan ini harus menjadi tulang punggung pembangunan dan menjadi infrastruktur sosial yang menyangga kehidupan kebangsaan.
Kecanggihan teknokrasi dalam pemerintahan tidak akan banyak guna tanpa dukungan infrastruktur sosial yaitu kohesi dan harmoni sosial. Fungsi ini telah dijalankan secara optimal oleh ormas-ormas keagamaan. Tugas pemerintah adalah mengakselerasi kohesi vertikal melalui pemerataan distribusi kesejahteraan dan pemerataan kontrol atas sumber-sumber daya ekonomi yang berkeadilan. Nahdlatul Ulama mendorong agar pemerintah fokus menjalankan program pemerataan dan memotong mata rantai ketimpangan.
PEMERATAAN EKONOMI DAN BAHAYA OLIGARKI
Nahdlatul Ulama melihat tujuh dekade pembangunan nasional belum mampu melenyapkan penyakit ketimpangan. Penyakit ini telah diwariskan sejak era kolonial yang menciptakan stratifikasi sosial berdasarkan penguasaan atas kue ekonomi. Penyakit ini diwariskan turun temurun setelah Indonesia merdeka. Ini terlihat dari langgengnya oligarki yaitu penguasaan atas aset ekonomi oleh segelintir orang. Presiden dan pemerintahan silih berganti, tetapi oligarki tidak pernah pergi. Oligarki punya kemampuan adaptif untuk berkolaborasi dengan siapa pun yang berkuasa.
Bercokolnya oligarki membuat kue ekonomi tumbuh, tetapi tidak merata. Koefisien gini turun sedikit, begitu pun rasio gini penguasaan tanah. Secara nominal, kekayaan 50 ribu orang terkaya setara dengan gabungan kepemilikan 60 persen aset penduduk Indonesia atau 150 juta orang. Segelintir orang mendominasi kepemilikan atas jumlah simpanan uang di bank, saham perusahaan dan obligasi pemerintah, serta penguasaan tanah.
Sektor yang menyerap banyak tenaga kerja, yaitu pertanian, terseok-seok karena gagalnya land reform dan industrialisasi pertanian. Sawah-sawah menjadi tadah hujan karena miskinnya infrastruktur irigasi. Akibatnya produktivitas turun. Sawah-sawah akhirnya disulap jadi rumah-rumah. Pada gilirannya kebutuhan pangan diperoleh dari impor yang menguras devisa.
Nahdlatul Ulama perlu mengingatkan kepada Pemerintah untuk memotong mata rantai oligarki ini. Oligarki akan menimbulkan penyakit sosial berupa persepsi tentang ketidakadilan dan prasangka etnis yang dapat mengoyak integrasi nasional.
TOLERANSI
Gejala menurunnya toleransi beragama di Indonesia dapat meretakkan konstruksi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Gangguan terhadap kebebasan menjalankan ajaran agama dan keyakinan masih terjadi dan dilakukan kelompok intoleran. Tanpa ketegasan aparat penegak hukum menindak aksi-aksi vandalisme, negara akan kalah oleh kelompok yang menggunakan kekerasan untuk memaksakan pendapat. Nahdlatul Ulama menyerukan aparat mengambil tindakan tegas terhadap kelompok intoleran yang melanggar hukum dan ketertiban sosial.
HARAPAN 2020
Nahdlatul Ulama berharap, di tahun 2020 dan selanjutnya Pemerintah melaksanakan dengan konsisten program-program yang telah dirancang dengan baik dalam upaya mengurangi ketimpangan. Silakan undang investasi, namun kurangi ketimpangan. Jangan yang kaya semakin kaya, yang miskin makin terpuruk. Perkuat basis sosial melalui proteksi dan pembangunan jaring pengaman sosial yang produktif dan terarah. Jangan biarkan oligarki mengorganisir kebijakan. Jalankan program deradikalisme dan deradikalisasi secara konseptual dan sistematis. Laksanakan tanpa diskriminasi dan jauhkan pelaksanaan program deradikalisme dan deradikalisasi dari sekadar mengadres anggaran negara.
Semoga negeri kita tercinta, Indonesia dijaga dan dipelihara oleh Allah SWT dan ditetapkan sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr.
شكرا ودمتم في الخير والبركة والنجاح
والله الموفق إلى أقوم الطريق
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, 6 Jumadal Ula 1441 H/2 Januari 2020 M
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA.
Ketua Umum
DR. Ir. H. A. Helmy Faishal Zaini
Sekretaris Jenderal