Raden Santri adalah putra Kyai Ageng Pemanahan
yang masih keturunan Prabu Brawijaya Majapahit. Beliau bergelar Pangeran
Singasari. Namun memakai nama samaran Raden Santri dalam usahanya menyebarkan
agama Islam.
Dalam usahanya menyebarkan agama Islam, banyak kejadian-kejadian
luar biasa terkait kewaliannya untuk mengenalkan wujud kebesaran Alloh SWT.
Seperti pada saat Mbah Raden bertemu dengan peduduk sebuah dusun yang belum
mengerjakan salat. Dusun tersebut sangat tandus dan kering. Kemudian Mbah Raden
mengajarkan mereka salat pada mereka dan ketika akan mengambil air wudhu tak
menemukan air.
Kemudian Mbah Raden
berdoa memohon kepada Alloh untuk diberikan air, maka seketika itu pula
terjadilah mata air yang memancarkan air yang sangat jernih, kemudian dijadikan
sendang. Anehnya hingga saat ini tidak pernah kering walaupun di musim kemarau
sekalipun.
Keutamaan lain dari Mbah Raden yaitu membangun mushalla di
pinggir sungai Blongkeng untuk menangkal banjir. Ternyata dengan adanya
mushalla tersebut dusun itu menjadi aman dari banjir, bahkan ketika terjadi
banjir besar dari letusan gunung Merapi yang konon meluap sampai kawasan Candi
Borobudur.
Setelah menetap di Dusun Santren pada tahun 1600 M, Kyai Raden
Santri sering menyepi untuk mujahadah di bukit Gunungpring. Saat pulang dari
Bukit Gunungpring ke dusun Santren di perjalanan melewati sungai terjadi banjir
yang sangat besar. Kemudian Mbah Raden Santri berkata, “Air berhentilah kamu,
aku akan lewat.” Maka banjir itu berhenti dan mengeras hingga menjadi batu
–batu yang cadas dan menonjol. Sampai sekarang dusun tersebut dikenal dengan
nama Watu Congol (batu yang menonjol) yang masih berada di Muntilan, dekat
dusung Gunungpring.
Kyai Raden Santri tergolong ulama awal yang menyebarkan agama di
wilayah sekawan
keblat gangsal pancer-nya gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing,
dan deretan pegunungan Menoreh di sepanjang Kali Progo. Keturunan Kyai Raden
Santri berturutan adalah Kyai Krapyak I, Kyai Krapyak II, Kyai Krapyak III,
Kyai Harun, Kyai Abdullah Sajad, Kyai Gus Jogorekso, Raden Moch Anwar AS, Raden
Qowaid Abdul Sajak, hingga Kyai Dalhar, dan termasuk Kyai Ahmad Abdulhaq. Anak
keturunan Kyai Raden Santri inilah yang kemudian menjadi ulama penyebar dan
menjadi tokoh agama Islam di wilayah Gunung Pring hingga saat ini. peran ini
kini dilanjutkan melalui Pondok Pesantren Darussalam di Watucongol.
Karena keistimewaan dan jasanya dalam penyebaran agama Islam,
sampai sekarang ini banyak masyarakat yang datang berziarah ke makam Mbah Raden
Santri. Paling ramai dikunjungi menjelang bulan puasa, tepatnya bulan Ruwah dan
Rejeb. “Peziarah umumnya datang dari seluruh penjuru Indonesia,” ucap Mbah
Toyo. Ada dari Papua dan Sulawesi. Paling banyak dari Jawa Timur.
Makam Mbah Raden Santri berada di sebuah bukit Gunungpring.
Selain Mbah Raden juga terdapat wali dan ulama yang juga dimakamkan di sana.
Seperti Kyai H. Dalhar, Kyai Krapyak III, Kyai Jogorekso, dll. Untuk sampai ke
makam, kita harus melewati unggah-unggahan yang kini sedang dibangun oleh warga
setempat. Di sisi tangga yang terbuat dari batu itu berjajar toko-toko milik
warga sekitar yang menjual aneka oleh-oleh seperti jenang, salak
pondoh,wewangian, kerajinan tangan bahkan warung nasi dan toko batik.
Makam-makam ulama tersebut berada di dalam rumah seperti masjid
yang sengaja dibuat sehingga peziarah dapat leluasa berdoa di sekitar makam.
Memasuki rumah tempat makam tersebut, dipasang sebuah peraturan singkat tentang
tata cara mengunjungi makam tersebut. Di antaranya yaitu wajib ijin bagi
peziarah yang datang berombongan. Selain itu diperbolehkan juga bagi peziarah
yang ingin menginap di makam dengan dibatasi 3 hari saja, kecuali bagi yang
memiliki hajat besar boleh menginap lebih dari 3 hari dengan ijin pada ahli
waris atau keturunan Mbah Raden Santri.
Setiap tanggal 1 Muharram di halaman rumah Gus Jogorekso dan
makam Gunungpring diadakan acara Haul Kyai Raden Santri. Haul adalah acara
peringatan meninggalnya Kyai Raden Santri yang diisi dengan pembacaan Al-Quran,
tahlil, kirab budaya dan diakhiri dengan pengajian oleh para ulama dan kyai.
Hal yang menarik dari
haul tersebut yaitu acara kirab budaya oleh para abdi dalem keraton
Ngayogyakarto Hadiningrat. Deretan barisan pembawa tumpeng dan rangkaian hasil
tani sebagai simbol bentuk syukuran. Barisan tersebut berangkat dari halaman
rumah Gus Jogorekso kemudian melewati jalan Pemuda Muntilan menuju makam dan
dilanjutkan dengan berziarah membaca tahlil. Kemudian bancaan (makan bersama).
Saat ini kirab budaya tersebut dimeriahkan oleh masyarakat sekitar dengan
menggunakan delman dan berpakaian ala wali bagi pria, dan bagi wanita
berpakaian sopan menggunakan kerudung.
Sampai saat ini daerah Gunungpring dan sekitarnya menjadi tujuan
wisata religi. Hal ini dikarenakan kesejarahan daerah tersebut sebagai muncul
dan berkembangnya ajaran agama Islam, beberapa makam wali dan ulama, dan
sekaligus menjadi tempat Pondok pesantren ternama, yakni Ponpes Darussalam.
Sumber:
mynameisbunny.wordpress.com